Miris. Saat itu, sekitar tanggal 1 Februari 2012,, seorang adik sepupu saya secara tidak sengaja salah kirim kultwit seorang artis bule idolanya ke kontak bbm saya, kalau tidak salah Megan Fox. Adik sepupu saya ini adalah seorang siswi kelas 3 SMP IT (Islam Terpadu) di Jakarta, cantik dan berkerudung (paling tidak saat berangkat ke sekolah). Bunyi tweet nya kira-kira begini “we live in a world where losing your phone is more dramatic than losing your virginity”. Sesaat setelah secara tidak sengaja mengirim ke ponsel saya, sang adik langsung mengirim pesan “maaf un, salah kirim”.
Saat itu, saya berfikir apa memnag seperti itu pergaulan abege jakarta? Kebetulan saya dari lahir hingga sma menempuh pendidikan di Bukittinggi, sebuah daerah yang masih sangat menjunjung tinggi nilai moral, budaya dan agama.
4,5 tahun saya menempuh pendidikan di pulau jawa, bisa dibilang saya tidak pernah kontak dengan hal2 yang bernilai “abu2” dalam pandangan moral dan agama. Hari-hari berjalan begitu ideal dan kondusif. Pergaulan yang homogen dan sangat “aman” menjadikan saya pribadi tidak begitu “ngeh” dengan degradasi moral yang ternyata sedang dilakoni oleh teman2 seusia saya bahkan jauh dibawah saya. Hidup di kampus saya jalani dengan begitu nyaman dan sempurna. Bertemu dengan orang2 baik, bergaul dengan mereka yang berwajah teduh, mengisi hari2 dnegan kesibukan yang jauh dari kesia-siaan. Sangat ideal sekali.
Kampung Baru,, Negeri Pasca Kampus
Tapi kemudian, takdir mengantarkan saya bekerja di sebuah wilayah yang tidak pernah saya bayangkan sebelumya. Sangat jauh dari kampung halaman saya di Bukittinggi. Budaya yang berbeda, bahasa dan adat istiadat yang tidak sama. Semakin menggiring saya untuk mengagumi Indonesia. Begitu kaya, beraneka suku bangsa, budaya dan kearifan lokal yang luar biasa. Tanahnya yang subur, kekayaan alam yang seakan tidak pernah habis disediakan tuhan untuk menuntun manusia berfikir. Langkah demi langkah harus tetap saya ayunkan di tanah perantauan yang baru. Pergaulan dan gaya hidup yang sangat berbeda dengan apa yang pernah saya temui dan jalankan saat di kampus tergambar terang di depan mata.
Tidak mudah bagi saya untuk membaca bahasa pasca kampus. Kalau dulu di kampus melihat orang pacaran saja saya sudah merasa tidak nyaman, apalagi sampai berpegangan tangan atau lebih dari itu. Tapi kemudia pasca kampus tidak seramah itu menyambut kehadiran saya. Berbagai tindakan yang menurut parameter saya adalah “salah” menjadi hal biasa. Bisa jadi ini memang skenario pasca kampus, atau sangat mungkin karena saat kuliah saya ga “melek” dengan hal ini. Itulah sebabnya negeri pasca kampus ini begitu asing dan “berbeda”. Di negeri ini, laki2 muslim itu tidak canggung meninggalkan sholat jumat, muslim nya tidak sungkan untuk tidak berpuasa di bulan ramadhan, sholat wajib sudah kehilangan penggemarnya, dan lain-lain yang sulit untuk saya ceritakan satu persatu.
Negeri pasca kampus yang saya maksud disini bukanlah ttg ruangan kantor ataupun seperangkat penduduknya atau atribut pendukung lainnya. Lebih luas lagi tentang masyarakat yang ternyata tidak seideal rakyat kampus. Masyarakat dengan segala tingkat pendidikan yang berbeda, perkenomian dan akses informasi yang berbeda. Perbedaan yang tidak sedikit ini menjadikan pola hidup masyarakat negeri pasca kampus tidak seideal masyarakat kampus. Benarlah apa yang waktu itu pernah disampaikan salah seorang ustadz, “isi dulu perut mereka, baru isi otak mereka. Karena ilmu tidak akan diterima dengan perut lapar”. Banyak “kebobrokan moral” yang terjadi karena perut lapar.
Sangat menyedihkan saat mendengar cerita beberapa orang rekan yang merupakan warga lokal tentang kondisi remaja di kampung saya yang baru ini. Seolah tanpa beban, pada kesempatan dan waktu yang berbeda mereka menggambarkan bahwa remaja putri usia SMP SMA banyak yang tidak perawan. Bukan karena korban perkosaan, tapi karena uang. Musibah ini banyak dialami mereka yang tinggalnya di pinggiran kota dan memilih sekolah di ibukota. Pertimbangan jarak yang jauh dari rumah mengharuskan mereka “nge-kost” dan tinggal jauh dari orang tua. Selain macetnya kiriman bulanan, minimnya pengawasan orang tua akhirnya menuntun remaja usia labil ini pada pergaualan yang sudah tidak wajar. Bermula dari perhatian dan “kepedulian” dari teman sebaya, berlanjut pada “kepercayaan” menyerahkan “harga diri” pada soulmate yang sepanjang hari mengisi hari2 di “tanah perantauan”. Jika sudah dimulai sekali, maka kali ke-3, 4 atau 5 menjadi hal biasa. Remaja putri ini sudah tidak lagi menganggap dirinya berharga. Om-om hidung belang pun menjadi mesin atm penyambung hidup sebagai “perantau”.
To be continued,…