RSS

Monthly Archives: April 2012

Ibu Kami, Rahmah El-Yunusiah

Tidak banyak yang mengenal beliau, bahkan masyarakat Sumatera Barat sekalipun. Di bangku pendidikan formal , nama beliau hampir tidak pernah disinggung. Saya pribadi baru mengenal nama beliau saat duduk di tingkat 2 kuliah, sekitar tahun 2007. Saya pertama mendengar nama beliau dari seorang senior yang menceritakan betapa perjuangan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan sudah dimulai sejak lama. Kali ini saya sedang tidak ingin bercerita tentang Ibu Kartini. Ini tentang seorang pejuang perampuan dari tanah Sumatra Barat.

Berikut adalah  riwayat hidup beliau yang dimuat di Harian Republika 7 April 2012, ditulis oleh Nidia Zuraya

Rahmah El-Yunusiyah: Perintis Sekolah Wanita Islam di Indonesia

Era sebelum kemerdekaan bisa dikatakan sebagai masa ketidakberpihakan terhadap kaum perempuan di Nusantara dalam bidang pendidikan. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia pada masa itu, sikap apriori terhadap perempuan yang bersekolah masih menjadi fenomena utama dalam kehidupan sehari-hari.

Pada zaman itu ada semacam kepercayaan yang tumbuh di masyarakat bahwa sehebat dan secerdas apapun seorang perempuan, pada akhirnya kodrat dan takdir perempuan akan kembali pada kehidupan rumah tangga yang hanya mengurusi urusan dapur (memasak), sumur (mencuci), dan tempat tidur (seks).

Anggapan demikian juga dianut oleh masyarakat matrilinial sekalipun, seperti Sumatra Barat. Hal ini pula yang agaknya mengusik nurani seorang Rahmah El-Yunusiyah. Rahmah merupakan satu dari sedikit perempuan di Sumatra Barat pada zaman pra-kemerdekaan yang menolak anggapan seperti itu.

Bagi Rahmah, perempuan memiliki hak belajar dan mengajar yang sama dengan kaum laki-laki. Bahkan dibandingkan laki-laki, perempuan juga mampu memiliki kecerdasan yang tak kalah hebat. Persoalannya, hanya terletak pada akses pendidikan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, sistem pendidikan di Nusantara memang masih sangat jauh dari yang diharapkan dan kaum perempuan belum memiliki akses pendidikan yang sama dengan laki-laki.

Menurut Rahmah, seorang perempuan sekalipun hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetap memiliki tanggung jawab sosial atas kesejahteraan masyarakat, agama, dan tanah airnya. Tanggung jawab itu, kata dia, dapat diberikan melalui pendidikan, baik di lingkungan keluarga (domestik) maupun di sekolah (publik).

***

Nama Rahmah El-Yunusiyah bagi banyak kalangan di Indonesia barangkali masih terkesan asing. Begitu juga kiprahnya dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan Indonesia mungkin tidak segaung perjuangan Raden Ajeng (RA) Kartini. Namun, kontribusinya dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan di Tanah Air tidak bisa dipandang sebelah mata.

Dilahirkan di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada 29 Desember 1900 dan wafat pada 26 Februari 1969. Rahmah berasal dari keluarga terpandang dan religius. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara pasangan Syekh Muhammad Yunus dan Rafi’ah.

Ayahnya adalah seorang qadhi (hakim agama) di wilayah Pandai Sikat yang juga ahli dalam ilmu falak. Kakeknya adalah Syekh Imaduddin, ulama terkenal Minangkabau dan tokoh Tarekat Naksyabandiah.

Selama hidupnya, Rahmah tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Mula-mula ia mengenyam pendidikan dari ayahnya, namun hanya sebentar karena sang ayah meninggal ketika ia masih sangat muda. Sepeninggal sang ayah, Rahmah kemudian mendapat bimbingan langsung dari kakak-kakaknya yang ketika itu telah dewasa.

Kemampuannya dalam membaca dan menulis Arab dan Latin diperoleh dari kedua orang kakaknya, Zainuddin Labay El-Yunusy dan Muhammad Rasyad. Ia kemudian belajar ilmu agama pada sejumlah ulama terkenal Minangkabau. Di antara para ulama yang pernah menjadi gurunya adalah Haji Abdul Karim Amrullah (ayahanda Buya Hamka), Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padangpanjang), Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Latif Rasjidi, dan Syekh Daud Rasjidi.

Selain ilmu keislaman, Rahmah juga mempelajari ilmu kesehatan (khususnya kebidanan) dan keterampilan-keterampilan wanita, seperti memasak, menenun, dan menjahit. Kelak ilmu yang diperolehnya ini diajarkannya kepada murid-muridnya di sekolah yang didirikannya, Diniyah Puteri.

Seorang pejuang

Di samping sebagai pendidik, Rahmah juga seorang pejuang. Dalam Ensiklopedia Islam terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve (IBVH) disebutkan bahwa Rahmah merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Semasa revolusi kemerdekaan, ia dipenjarakan Belanda dan baru dibebaskan tahun 1949 setelah pengakuan kedaulatan. Hingga tahun 1958, ia aktif di bidang politik. Ia antara lain menjadi anggota KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Sumatra Tengah, ketua Barisan Sabilillah dan Sabil Muslimat di Padang, dan anggota Konstituante mewakili Masyumi. Peranannya yang paling menonjol adalah kepeloporannya dalam pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada tanggal 2 Oktober 1945.

Sosok pejuang wanita ini juga dikenal memiliki prinsip dan sikap yang teguh. Ketika Belanda menawarkan diri untuk membantu sekolahnya dengan subsidi penuh dengan syarat Diniyah Puteri menjadi lembaga yang berada di bawah pengawasan Belanda. Namun, syarat tersebut ia tolak dengan tegas.

Demikian juga ketika kaum komunis memerahkan lapangan Bancah Laweh, Rahmah pun dengan berani sehari kemudian, memutihkan kota Padang Panjang untuk menghadang manuver pihak komunis. Karena sikapnya yang tidak sependapat dengan Presiden Pertama RI, Soekarno, yang dinilainya telah melenceng dari demokrasi terpimpinnya dan kedekatan dengan pihak komunis, membuat dirinya dikucilkan.

***

Seluruh hidupnya diabdikan untuk pendidikan kaum perempuan. Rahmah El-Yunusiyah memang memiliki cita-cita agar wanita Indonesia memperoleh kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita, sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ia mendidik kaum wanita Indonesia agar  sanggup berdikari untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif, dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air, di mana kehidupan agama mendapat tempat yang layak. Cita-cita dan tujuannya ini dirumuskannya dalam tujuan pendirian Diniyah Puteri.

Cikal bakal Diniyah Puteri bermula dengan dibentuknya Madrasah li Banat (sekolah untuk puteri) pada 1 November 1923. Pendirian sekolah khusus perempuan pada masa itu bukanlah hal mudah. Kendala utama yang dihadapi adalah cemoohan dari masyarakat. Bagi banyak kalangan saat itu, sekolah perempuan dengan tenaga pengajar yang juga perempuan merupakan hal aneh, tabu dan melanggar adat.

Untuk menampik ejekan ini Rahmah membuktikan dengan menampik bantuan dari masyarakat (yang masih memandang miris perempuan) dan menggunakan cara sendiri untuk membangun sekolah. Bahkan, ia merelakan rumahnya dijadikan sebagai ruang kelas.

Selama dua tahun pertama, cara belajar yang diterapkan di sekolah ini menggunakan sistem halaqah seperti yang diterapkan di Masjidil Haram, yakni para murid duduk di lantai mengelilingi guru yang menghadap meja kecil. Lambat laun sekolah ini memiliki gedung sendiri.

Berdirinya gedung ini sepenuhnya berasal dari kemauan keras para perintisnya dan simpati masyarakat. Gedung pertama Diniyah Puteri, misalnya, dibangun dari batu kali yang diangkut sendiri oleh para guru dan murid Diniyah Puteri dan murid sekolah-sekolah lain yang ada di Padang Panjang.

***

Semoga menjadi setitik gambaran betapa perempuan MAMPU berbuat lebih dari yang biasa dibebankan padanya 🙂

 
Leave a comment

Posted by on April 28, 2012 in Uncategorized

 

Missing Piece

Attitude is a little thing that makes a big difference.

_Winston Churchill

Kali ini saya ingin menulis tentang sesuatu yang tidak ada dalam mata pelajaran kita, tidak pula dalam mata kuliah yang mencapai 144 SKS itu. Ini tentang hal simple yang sebenarnya tidak sederhana. Sayangnya ini tidak menjadi poin saat kau ingin menamatkan pendidikanmua di sekolah, tidak juga saat kau ingin mendapat gelar sarjana, master, ataupun doktor.

Entah sistem pendidikan yang salah, entah kurikulum yang kurang memadai. Atau mungkin karena pemerintah berfikir ini adalah mata pelajaran yang seharusnya kau dapatkan di rumahmu, dari ibu mungkin, atau dari kakak2 mu? atau mungkin dari teman sepermainan?

Pemerintah ternyata masih sangat berbaik sangka dengan ibu-ibu kita. Atau, pemerintah memang tidak sanggup mengambil peran itu? Ah,,tapi sudahlah. Kasihan pemerintah kalau terus2an disalahkan. Kita sepakati saja kalau ini memang tugas ibu-ibu kita. Semoga ini menjadi tanda bahwa memang ibu-ibu kita masih mampu mengisi peran itu.

Jika abjad A sampai Z kita konversi dalam bentuk angka, maka kalau tidak salah akan terbentuk angka 1- 26. Betul?

Dari abjad ini, kita coba untuk bermain huruf dan angka. 1 untuk A, 2 untuk B, 5 untuk E dan seterusnya.

Jika kita membentuk kata WORKHARD dari susunana abjad tersebut, maka akan tercapai angka 98. Ini kita sepakati sebagai 98%. Jadi, kesuksesan yang dicapai dengan kerja keras (Workhard) hanya mampu mencapai nilai 98%

Selanjutnya dari kata KNOWLEDGE, kita akan memperoleh nilai 96%.

Taukah kalian kata apa yang akan mengantarkan kita pada 100%?

teng teng teng…

jawabannya adalah ATTITUDE a.k.a perilaku

Inilah yang sedari tadi saya katakan sebagai hal simpel yang tidak sederhana. Entah tuntutan zaman yang semakin modern, tapi nilai2 perilaku ini sudah tidak lagi diwariskan dibangku2 pendidikan, tidak lagi dihadirkan di ruang2 kuliah. Apakah benar ibu-ibu kita sanggup mengambil peran ini? Menjadi satu-satunya sumber pengajaran attitude kepada anak2 mereka. Let’s see.

Kalo kata Om Einstein, Weakness of attitude becomes weakness of character.

Jadi, KNOWLEDGE + WORKHARD + ATTITUDE akan menjadi paket yang sempurna 🙂

Ps:

Kepada semua guru-guru kami, jangan pernah bosan mengajrkan kami tentang sesuatu yang bernama attitude ini. Mungkin dulu materi ini hanya kami temukan di sekolah dasar, dan kami tidak tau apakah siswa SD saat ini masih mendapatkannya. Semoga selalu ada celah untuk berperan dalam peran sekecil apapun itu

Palu, 23 April 2012

 
Leave a comment

Posted by on April 23, 2012 in Uncategorized

 

Kamu berharga =)

Hari ini terasa berbeda. Seharusnya sih tidak demikian, karena aktivitas saya hari ini ga begitu jauh berbeda dengan hari kerja kemarin2nya. Tapi entah kenapa, hari ini terasa sedikit berkesan. Terhitung sejak awal bulan ini, saya punya atasan baru yang langsung mensupervisi saya dan teman2 di divisi HSE (health, safety and Environment).

Beliau sosok pribadi yang bijak, kebapak-an, punya pengalaman kerja yang mumpuni dibidangnya dan tentu saja selera humor yang baik :D. Beliau bertubuh tinggi, good looking (mungkin waktu mudanya banyak fans nih ;p) selalu tampil rapih dan bersahaja. Paket ini menjadi semakin lengkap karena beliau juga rajin beribadah. o iya, satu hal lagi yang tidak kalah penting, Si bapak adalah pribadi yang sangat mencintai keluarganya, terlihat dari cara beliau menjawab ceracau kecil anaknya di telfon (bukannya saya nguping, tapi emang suaranya terdengar dari jarak agak jauh) dan jawaban2 yang begitu lembut dan penuh kasih sayang. Ideal Sekali.

Kembali ke cerita awal. Hari ini menjadi berbeda karena kehadiran Si Bapak di tengah2 kami. Secara background, beliau sangat berpengalaman terkait dengan safety (keselamatan kerja). Pagi ini, si Bapak ingin “menggugah” kami tentang pentingnya safety, terutama bagi mereka yang bekerja di pertambangan. Sebenarnya hal ini biasa, biasa banget malah. Yang menjadikannya berbeda adalah cara beliau menyampaikannya. Beliau mengawali pemaparannya dengan pertanyaan sederhana

“Apa tujuan kalian bekerja di perusahaan ini?”

Berbagai jawaban normative pun terdengar dari peserta. selang tak berapa lama, si Bapak memunculkan slide “sekarung uang”. Kemudian dengan sederhana beliau meluruskan pemikiran kami, bahwa memang kita sama2 bekerja untuk uang.

Suasana manjadi haru (menurut saya pribadi) saat si Bapak kemudian “mengingatkan” kami bahwa kita semua mencari uang disini bukan untuk diri kita sendiri. Kita bekerja keras untuk membahagiakan keluarga, orang tua, anak, istri, adik atau sekedar anak2 kurang beruntung yang tidak punya penanggung jawab.

Beliau meneruskan dengan sebuah video yang mengundang gerimis di mata kami. Sebuah video tentang seorang bapak yang berprofesi sebagai driver di sebuah perusahaan. Diceritakan beliau adalah pegawai yang baik, taat peraturan, dan mencintai keluarga. Tapi kemudian si bapak driver ini kemudian harus meninggal di atas truk yang dikendarainya karena menelfon saat menyetir dan truknya mengalami tabrakan. Di akhir video dimunculkan kilasan2 gambar kebersamaan beliau dengan keluarga, tawa riang sang putri yang berusia sekitar 5 tahun. Semakin mengharukan dengan suara2 yang menggambarkan suara hati si Bapak. saat beliau mengalami kecelakaan, saat beliau akhirnya tidak dapat pulang dengan selamat ke rumah, yang terluka pada hakikatnya bukan hanya beliau. Tapi lebih dari itu, anak dan istrinya yang kemudian nasib mereka semakin menggantung. Bagaimana putrinya bisa melanjutkan pendidikan. Foto bersama saat wisuda sang putri hanya tinggal impian. Sungguh perih.

Sesi 1 pertemuan kami diakhiri dengan “himbauan” si Bapak untuk mengutamakan keselamatan saat melakukan apapun. Apapun profesi kita, potensi bahaya itu ada dimana-mana.  Menjaga keselamatan diri pada hakikatnya bukan hanya untuk kita, tapi untuk mereka yang setia menunggu kepulangan kita ke rumah. Untuk mereka yang dengan senyum rindu menunggu di depan pintu. Untuk mereka yang disetiao doanya tidak pernah lupa mendoakan keselamatn kita

Just sharing,,semoga bisa lebih dipikirkan. Setiap diri kita adalah asset. Jika saat ini ada yang merasa hidupmu sendiri, yakinlah, sebenarnya ada begitu banyak orang yang mencintaimu, hanya saja mereka tidak tau cara mengungkapkannya 🙂

 
Leave a comment

Posted by on April 22, 2012 in Uncategorized