Baru saja kumandang adzan subuh menggema dari masjid kebanggaan kami. Seperti biasa, jamaah masjid ini mayoritas ibu-ibu, rata-rata 45 tahun keatas. Entahlah, entah karena bapak2 nya berumur pendek atau karena tidak sanggup melawan dinginnya suhu udara subuh. Hanya 4 atau 5 orang saja yang terlihat hari ini. Kalau untuk remajanya, kita anggap saja mereka semua pergi merantau, maka jadinya tak seorangpun yang bisa hadir sholat subuh berjamaah di masjid ini.
Sepuluh menit kemudian terdengar suara iqamah pertanda sholat jamaah akan segera dimulai.Tak berselang lama suara takbir pun menggema. Sungguh syahdu. Sholat berjamaah di masjid ini punya sensasi berbeda. Kolaborasi udara (sangat) dingin, bacaan imam yang panjang2 dan rasa kantuk luar biasa bercampur jadi satu. Perjuangan yang tidak mudah, butuh keinginan kuat.
Shalat berjamaah berjalan nikmat dibawah terang lampu kristal mewah di setiap sudut mesjid. Sekumpulan manusia perindu Rabb nya khusyuk dalam lantunan ayat-ayat yang dibaca imam. Tidak hanya suara imam dari masjid kami, suara imam dari masjid sekitar pun masih samar-samar terdengar. Mungkin karena suasana hening dari hiruk pikuk aktivitas manusia. Indah sekali.
Shalat jamaah berakhir seiring imam mengucap salam. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Dilanjut dzikir dan doa berbahasa arab yang dengan fasih dipimpin oleh sang imam. Sudah menjadi kebiasaan bagi jamaah masjid kami untuk bersalaman sesama jamaah usai shalat subuh. Ya, hanya untuk sholat subuh. Agaknya ini menjadi momen untuk mempererat silaturahmi dan saling memaafkan kesalahan dan tidak harus menunggu lebaran atau ramadhan baru bermaaf-maafan. Wajah teduh dan ramah para jamaah saat saling berjabat tangan, sungguh panorama pagi nan indah.
Tiba-tiba, saat sedang bersalaman, seorang ibu usia sekitar 55-60 tahun menarik tangan saya lalu berbisik “kalau ada rezeki untuk saya, bisa tolong dibawa besok subuh.” Sontak saya kaget dan bingung. Apa maksudny si ibu? Kemudian beliau sedikit “curhat” kalau saat ini beliau tidak punya uang sama sekali. Dia memang punya seorang anak perempuan, tapi dia sudah menikah dan punya 4 anak. Hidupnya pun pas-pasan. Sang anak memiliki sebuah warung kecil di depan rumah mereka (mereka tinggal bersama) dan kalaupun si ibu membutuhkan sesuatau dari warung tersebut, beliau harus membayar, sama seperti pembeli lainnya. Menurut beliau, dia sudah berusaha mengerjakan apapun yang bisa dilakukan untuk bertahan hidup, tapi sampai saat ini masih saja hidupnya jauh dari cukup.
Si Ibu masih saja terus bercerita walaupun saya masih belum paham kenapa dia menceritakannya pada saya. Bahkan saat saya berhenti dan mengobrol dengan ibu-ibu lain, si Ibu ini masih setia menunggu. Salah satu inti pembicaraan beliau yang masih saya ingat, “Tidak masalah saya hidup susah begini, yang penting anak saya bisa bahagia dengan keluarganya. Buat saya, selama saya masih bisa berusaha sendiri, saya tidak akan menyusahkannya.”
That’s the point. Begitulah orang tua. Begitulah ibu. Begitulah kebanyakan perempuan Indonesia. Selalu terlihat tegar walaupun hati sebenarnya hancur.
Poin berikutnya, “Hanya orang-orang yang memposisikanmu penting yang akan menceritakan hal-hal yang menurutnya penting kepadamu, sekalipun tanpa pernah engkau meminta atau mengharapnya. Esensinya bukan pada penting atau tidaknya pembicaraan itu bagimu, tetapi terletak pada kepercayaan mereka untukmu. Kepercayaan itulah yang tidak ternilai harganya, jadi hargailah dan dengarkan.”
Mungkin bagi dunia ini kau adalah seseorang, tapi boleh jadi bagi seseorang kau adalah dunianya.
Palu, 20-24 Juni 2012